Thursday, April 23, 2009

National Examination Not The Standard for Success in Education

UN bukan Ukuran Keberhasilan Pendidikan
Prof. Sunaryo, "Fenomena UN Gambaran Kepanikan"

Ujian Nasional (UN) cenderung dipahami secara salah oleh para orang tua, kepala sekolah, dan pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Hal ini termanifestasikan dari banyaknya orang yang berlomba-lomba mengondisikan anaknya atau siswa sekolah agar meraih nilai bagus dalam UN. Padahal sesungguhnya nilai bagus dalam UN bukanlah jaminan yang layak dijadikan ukuran bagi keberhasilan pendidikan.

Hal itu dikemukakan Rektor UPI, Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. di Rektorat UPI Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung, kemarin. Dalam keterangannya yang didampingi Sekretaris Rektorat UPI, Dr. Uman Suherman, M.Pd. itu, Sunaryo berpandangan saat ini terjadi "salah persepsi" secara nasional terhadap kegiatan UN.

"Akibat salah persepsi itu, maka target UN pun menjadi beban para siswa, guru, dan kepala sekolah. Tingkat kelulusan dan nilai bagus UN seolah-olah cerminan kinerja pimpinan sekolah yang baik. Padahal bagus atau tidaknya kepimpinan sekolah tidak hanya itu," kata Sunaryo.

Sunaryo mengemukakan, fenomena UN adalah gambaran kepanikan para kepala sekolah dan guru serta pihak terkait lainnya. Ini tercermin dari adanya berbagai upaya agar siswanya meraih nilai bagus dalam UN. Jika nilainya bagus, maka diharapkan ada penilaian bagus pula dari atasannya. "Seandainya penyelenggaraan pendidikan khususnya pola UN masih seperti ini, kita pesimistis terhadap kemajuan program pendidikan nasional," katanya.

Kebijakan makro
Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman menilai berbagai pelanggaran termasuk kecurangan yang dilakukan oknum guru berawal dari kebijakan makro yang keliru. Sebab pemerintah hanya melihat mutu pendidikan dari mutu lulusan. "Karena UN menjadi penentu kelulusan akhirnya menjadi momok bagi guru, siswa, dan juga birokrat. Sehingga mau tidak mau UN ini selalu dikaitkan dengan politik kekuasaan," ungkapnya.

Di sisi lain, meski ujian nasional (UN) sekolah menengah atas/madrasah aliah (SMA/MA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) telah berlangsung selama tiga hari, masih ada perwakilan perguruan tinggi yang mengaku bertugas sebagai pemantau, bukan pengawas di SMA/MA.

Erwin Panji yang bertugas di SMA Dharma Bakti Bandung (bergabung dengan SMA Pasundan 3 Bandung) mengatakan, operasional pengawasan sepenuhnya diserahkan kepada para guru. Ketua Tim Pemantau Independen (TPI) dan Koordinator Pengawas UN SMA/MA Jabar dari UPI Yayat Achdiat menuturkan, pihaknya sudah menyiapkan pengganti mereka yang bertugas di SMA/MA tetapi SK-nya masih sebagai pemantau. (A-44/A-157/A-167)***

Sumber: Pikiran Rakyat, 23 April 2009

No comments:

Post a Comment