Thursday, May 7, 2009

Minimum Wage for Teachers Will Be Regulated

Upah Minimum Guru Diatur
Banyak yang Tak Sanggup Beli Buku
Kamis, 7 Mei 2009 | 03:20 WIB

Jakarta, Kompas - Ratusan ribu guru honor atau wiyata bakti baik di sekolah negeri maupun swasta masih belum memperoleh jaminan kesejahteraan yang layak. Oleh karena itu, sedang diupayakan agar terdapat aturan mengenai upah minimum pendidik.

Pemerintah tengah pula menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Guru Non-PNS.

Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo, Rabu (6/5), mengatakan, organisasi pimpinannya telah mengusulkan agar terdapat subsidi dari anggaran negara untuk guru wiyata bakti. Saat ini terdapat 922.000 guru wiyata bakti se-Indonesia.

Para guru tersebut banyak yang memperoleh imbalan di bawah upah minimum regional untuk buruh yang ditetapkan pemerintah kota atau kabupaten. ”Mereka mengalami pelecehan profesi guru karena dibayar dengan tidak wajar selama puluhan tahun,” ujarnya.

Guru-guru honor, terutama di sekolah swasta, di sejumlah daerah banyak yang dibayar sekitar Rp 200.000 hingga Rp 250.000 per bulan dan tanpa tunjangan lainnya. Padahal, upah untuk pekerja lain rata-rata sudah di atas Rp 700.000, bahkan banyak yang di atas Rp 900.000 per bulan.

”Kami sudah mengirimkan surat pada 12 Februari 2009 ke Presiden RI dengan tembusan ke Menteri Keuangan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, dan Menteri Sekretaris Negara agar ditentukan standar upah minimal pendidikan. Besarannya harus di atas upah minimum regional buruh pabrik,” kata Sulistyo.

Terlebih lagi, tidak seperti buruh pabrik, guru sekarang diharuskan minimal berpendidikan S-1 atau D-4. Persoalan kesejahteraan guru ini memengaruhi pula minat masyarakat terhadap profesi guru.

Sulistyo juga menyambut baik RPP tentang Guru Non-PNS yang tengah diupayakan pemerintah.

Dengan adanya perbaikan kesejahteraan, minat menjadi PNS juga berkurang.

RPP Guru Non-PNS

Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik Tenaga Kependidikan Depdiknas Baedhowi mengatakan, Depdiknas mengajukan RPP Guru Non-PNS terutama untuk mengatur agar pengangkatan guru non-PNS lebih manusiawi. Hal itu diungkapkannya di sela-sela Pertemuan Koordinasi Asosiasi Lembaga Pendidik Tenaga Kependidikan (LPTK) Swasta Seluruh Indonesia.

”Termasuk juga nanti akan diatur gaji minimal yang harus dipenuhi sekolah atau penyelenggara pendidikan. Tidak seperti sekarang, banyak guru swasta yang hanya mendapat gaji ’belas kasihan’,” katanya.

Menurut Baedhowi, RPP tentang Guru Non-PNS masih terus dibahas, antara lain dengan Kantor Menneg PAN. ”Kami ingin guru Non-PNS pun punya kepastian dalam sistem pengangkatan, penggajian, serta hak dan kewajibannya,” ujarnya.

Ketua Serikat Guru Jakarta sekaligus Ketua Forum Guru Honorer Indonesia Supriyono menambahkan, guru membutuhkan biaya untuk menunjang kebutuhan hidup sehari-hari dan kebutuhan profesionalnya. ”Sudah seharusnya guru dapat berlangganan koran, internet, dan membeli buku paling tidak satu bulan satu judul buku,” ujarnya.

Dengan demikian, ilmu pengetahuan guru terus berkembang sehingga para murid mendapatkan pengajaran yang baik. ”Sekarang ini mutu pendidikan merosot antara lain karena guru tidak punya kemampuan finansial mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. (INE/ELN)

Wednesday, May 6, 2009

BSNP (National Educational Standardization Board) Admits Frauds in National Examination

BSNP Akui Ada Kecurangan UN
UN SLTP Susulan Sedikit Peserta
Selasa, 5 Mei 2009 | 04:03 WIB

Jakarta, Kompas - Badan Standar Nasional Pendidikan dan Departemen Pendidikan Nasional mengakui ujian nasional masih memunculkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan siswa, guru, sekolah, hingga aparat dinas pendidikan di daerah. Namun secara umum, pelaksanaan ujian nasional semakin baik.

”Permasalahan yang muncul di lapangan itu tentu saja ditindaklanjuti sesuai prosedur yang berlaku. Setelah itu, perlu ada antisipasi untuk perbaikan UN berikutnya,” kata

Mungin Eddy Wibowo, Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dalam keterangan pers soal evaluasi pelaksanaan UN SMP-SMA di Jakarta, Senin (4/5).

Amin Priyatna, Inspektur IV Inspektorat Jenderal Depdiknas, mengatakan, kecurangan UN pada tahun ini berkurang ketimbang dua tahun lalu. Pada tahun ini, kasus yang mencuat adalah percobaan pembocoran soal yang dilakukan sejumlah kepala sekolah di Kabupaten Bengkulu Selatan. Pada tahun 2008, kecurangan UN yang ditangani serius Itjen Depdiknas tersebar di tujuh provinsi dan tahun 2007 sekitar 12 provinsi.

Amin mengatakan, temuan- temuan seputar penyelenggaraan UN itu didapat dari media massa maupun pengaduan yang masuk dari masyarakat. ”Ada 36 catatan yang perlu ditindaklanjuti soal pelaksanaan UN. Itjen menurunkan 300 auditor di 33 provinsi untuk bisa memantau penyelenggaraan UN. Dari temuan, secara umum pelaksanaan UN sudah baik,” kata Amin.

Mungin mengatakan, berdasarkan catatan BSNP dan Depdiknas, persoalan yang terus berulang adalah pelanggaran terhadap prosedur operasional standar (POS) UN. Pelanggaran itu, misalnya, ketidakberesan dalam pencetakan dan pendistribusian naskah UN hingga buruknya kualitas cetakan naskah soal, siswa membawa handphone ke ruang ujian, dan lain-lain.

Tak ikut UN susulan

Secara terpisah, di Kota Tegal, Jawa Tengah, banyak siswa tidak memanfaatkan kesempatan mengikuti UN susulan. Diduga ketidakikutan siswa tersebut karena mereka sudah bekerja.

”Dari 29 siswa SLTP yang tidak hadir pada UN hari pertama pekan lalu, hanya lima siswa yang memanfaatkan UN susulan,” kata Kepala Bidang Pendidikan Dasar, Dinas Pendidikan Kota Tegal, Abdullahmin Arifin.

Di Semarang, UN susulan SMP sederajat pada hari Senin kemarin juga hanya diikuti 16 siswa dari 72 siswa yang seharusnya ikut.

Penyelenggaraan UN susulan di Kota Semarang dipusatkan di SMP Negeri 5. Terdapat empat kelas yang telah disiapkan, tetapi hanya satu kelas yang akhirnya digunakan oleh 16 siswa SMP dan madrasah tsanawiyah.(ELN/ WIE/ILO)

Corruption Threatens Education Development

LAYANAN PENDIDIKAN
Korupsi Mengancam Pembangunan Pendidikan
Selasa, 5 Mei 2009 | 04:56 WIB


Jakarta, Kompas - Korupsi di dunia pendidikan mengancam pembangunan pendidikan. Kenaikan anggaran pendidikan yang diperjuangkan dengan susah payah perlu disertai pengawasan publik.

Kondisi tersebut antara lain tercermin dalam kajian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro) dan disampaikan dalam jumpa pers, Senin (4/5). Chitra Septyandrica, peneliti dan Program Manager Pattiro, mengatakan, masih terjadi penyimpangan anggaran pendidikan. Pattiro bersama bersama Brooking Institution dari Amerika meneliti 137 proyek sebagai percontohan di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, dan Kabupaten Serang, Banten, pada tahun 2008. Penelitian terhadap 30 sekolah negeri dan 10 sekolah swasta jenjang SD dan SMP.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat tujuh pola penyimpangan yang terjadi, yakni pengucuran dana tidak sesuai kebutuhan sekolah, keterlambatan pencairan, penyimpangan cara penyaluran, potongan tidak wajar, belanja tidak sesuai peruntukan, pengurangan hasil, serta kebocoran dalam alokasi, penggunaan dan audit dana.

Skema penyaluran anggaran ke sekolah juga rumit dan setiap skema mempunyai aturannya masing-masing. Selain itu, transparansi anggaran sangat rendah.

Gambaran karut marutnya pengelolaan anggaran pendidikan disampaikan pula oleh Febri Hendri, peneliti dari ICW. Lembaga tersebut mengambil contoh kasus-kasus korupsi anggaran pendidikan di delapan provinsi, yakni Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, serta Sulawesi Tengah sepanjang tahun 2007 dan 2008.

Terdapat 36 kasus di daerah-daerah tersebut yang sampai di tingkat kejaksaan dan melibatkan 63 orang tersangka. Tersangka terbanyak yakni sebanyak 14 orang ialah pejabat di dinas pendidikan. Pelaku selebihnya antara lain staf pemerintah daerah, pimpinan proyek, dan kepala sekolah.

Febri mengatakan, modus yang paling banyak ialah penggelembungan, penggelapan, dan manipulasi anggaran. Namun, ada pula modus penyuapan dan pungutan liar, terutama berkaitan dengan kewenangan pencairan anggaran. Modus paling banyak menimbulkan kerugian negara ialah manipulasi anggaran dengan kerugian sekitar Rp 110,7 miliar. (INE)