Thursday, April 23, 2009

National Examination Not The Standard for Success in Education

UN bukan Ukuran Keberhasilan Pendidikan
Prof. Sunaryo, "Fenomena UN Gambaran Kepanikan"

Ujian Nasional (UN) cenderung dipahami secara salah oleh para orang tua, kepala sekolah, dan pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Hal ini termanifestasikan dari banyaknya orang yang berlomba-lomba mengondisikan anaknya atau siswa sekolah agar meraih nilai bagus dalam UN. Padahal sesungguhnya nilai bagus dalam UN bukanlah jaminan yang layak dijadikan ukuran bagi keberhasilan pendidikan.

Hal itu dikemukakan Rektor UPI, Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, M.Pd. di Rektorat UPI Jln. Dr. Setiabudhi No. 229 Bandung, kemarin. Dalam keterangannya yang didampingi Sekretaris Rektorat UPI, Dr. Uman Suherman, M.Pd. itu, Sunaryo berpandangan saat ini terjadi "salah persepsi" secara nasional terhadap kegiatan UN.

"Akibat salah persepsi itu, maka target UN pun menjadi beban para siswa, guru, dan kepala sekolah. Tingkat kelulusan dan nilai bagus UN seolah-olah cerminan kinerja pimpinan sekolah yang baik. Padahal bagus atau tidaknya kepimpinan sekolah tidak hanya itu," kata Sunaryo.

Sunaryo mengemukakan, fenomena UN adalah gambaran kepanikan para kepala sekolah dan guru serta pihak terkait lainnya. Ini tercermin dari adanya berbagai upaya agar siswanya meraih nilai bagus dalam UN. Jika nilainya bagus, maka diharapkan ada penilaian bagus pula dari atasannya. "Seandainya penyelenggaraan pendidikan khususnya pola UN masih seperti ini, kita pesimistis terhadap kemajuan program pendidikan nasional," katanya.

Kebijakan makro
Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman menilai berbagai pelanggaran termasuk kecurangan yang dilakukan oknum guru berawal dari kebijakan makro yang keliru. Sebab pemerintah hanya melihat mutu pendidikan dari mutu lulusan. "Karena UN menjadi penentu kelulusan akhirnya menjadi momok bagi guru, siswa, dan juga birokrat. Sehingga mau tidak mau UN ini selalu dikaitkan dengan politik kekuasaan," ungkapnya.

Di sisi lain, meski ujian nasional (UN) sekolah menengah atas/madrasah aliah (SMA/MA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) telah berlangsung selama tiga hari, masih ada perwakilan perguruan tinggi yang mengaku bertugas sebagai pemantau, bukan pengawas di SMA/MA.

Erwin Panji yang bertugas di SMA Dharma Bakti Bandung (bergabung dengan SMA Pasundan 3 Bandung) mengatakan, operasional pengawasan sepenuhnya diserahkan kepada para guru. Ketua Tim Pemantau Independen (TPI) dan Koordinator Pengawas UN SMA/MA Jabar dari UPI Yayat Achdiat menuturkan, pihaknya sudah menyiapkan pengganti mereka yang bertugas di SMA/MA tetapi SK-nya masih sebagai pemantau. (A-44/A-157/A-167)***

Sumber: Pikiran Rakyat, 23 April 2009

Blinds Have Difficulties with Math Questions

Soal Matematika Sulitkan Tunanetra
Kamis, 23 April 2009 | 04:40 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS - Soal ujian nasional Matematika yang berlangsung Rabu (22/4) menyulitkan pelajar tunanetra. Selain terdapat kesalahan, soal juga menggunakan simbol-simbol matematika yang tidak mereka kenal dalam versi huruf Braille. Guru pendamping pun mengalami kesulitan untuk menerjemahkan karena simbol- simbol itu hanya dikenal di bidang Matematika.

Salah satu dari enam peserta ujian nasional (UN) tunanetra dari kelas IPS di MAN Maguwoharjo, Sleman, Wido Yufri Ashar (19), mengatakan, sejumlah simbol yang sulit dikenal tersebut antara lain negasi dan konjungsi. Simbol-simbol itu biasanya hanya mereka kenal dalam bentuk aksara Latin atau mereka dengar dari pengajar matematika.

”Kami belum pernah tahu bentuknya dalam Braille. Seharusnya simbol-simbol itu diterjemahkan dalam aksara Latin sesuai bunyinya saja,” kata Wido di Sleman, Rabu.

Guru matematika yang diminta pendapatnya tidak bisa datang ke sekolah karena adanya aturan bahwa guru mata pelajaran yang tengah diujikan dilarang berada di sekolah. ”Akhirnya, kami menghubungi guru agama yang kebetulan tahu arti simbol-simbol itu,” kata Mardinah, guru pembimbing anak berkebutuhan khusus di MAN Maguwoharjo.

Di Yogyakarta, UN SMA/SMK tahun ini diikuti oleh 53 pelajar tunanetra. Mereka terdiri dari sembilan pelajar inklusi di sekolah umum dan 44 pelajar di SMA luar biasa.

Kesalahan cetak
Di Kabupaten Ende, Flores, pada hari ketiga pelaksanaan UN kemarin ditemukan sejumlah kesalahan cetak pada soal Matematika paket B jurusan IPA.

”Kesalahan ini dimungkinkan pada master soal yang dibuat pusat atau di tingkat percetakan. Kami sudah membuat berita acara menyangkut hal ini untuk dikirimkan ke Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Ende agar siswa tidak menjadi korban,” kata Kepala SMA Katolik Syuradikara Pater Kanisius Bhila SVD.

Sehari sebelumnya, dalam soal Bahasa Inggris juga terjadi kesalahan soal seperti yang dialami siswa di Semarang dan Salatiga, Jawa Tengah. Siswa minta soal itu dianulir, tetapi sekolah menyatakan tidak berwenang. (IRE/SEM/DEN/GAL)

Education Budget Down by IDR 11.7 Trillion

Anggaran Pendidikan Turun Rp 11,7 Triliun
Kamis, 23 April 2009 03:56 WIB

Jakarta, Kompas - Anggaran pendidikan tahun 2010 ditargetkan senilai Rp 195,636 triliun atau berkurang Rp 11,77 triliun dibandingkan tahun 2009 sebesar Rp 207,413 triliun. Meski terjadi penurunan, hal itu masih sesuai konstitusi yang mengharuskan 20 persen APBN untuk pendidikan.

Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengatakan hal tersebut Rabu (22/4) dalam Rapat Koordinasi Pembangunan Tingkat Pusat 2009 dalam Rangka Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2010 yang difokuskan pada Pemulihan Perekonomian Nasional dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat.

Dengan anggaran Rp 195,636 triliun tersebut, anggaran pendidikan tahun 2010 akan setara dengan 20,6 persen dari total anggaran belanja negara pada Rancangan APBN (RAPBN) 2010. Adapun tahun 2009 anggaran pendidikan 21 persen dari APBN.
Anggaran pendidikan Rp 195,63 triliun tersebut sudah termasuk dana pendidikan yang ditransfer ke daerah senilai Rp 113,109 triliun atau berkurang dibanding tahun 2009 yang dialokasikan sebesar Rp 117,862 triliun.

Menurut Sri Mulyani, penetapan anggaran pendidikan yang sangat besar bisa membuat aparat pemerintah pusat dan daerah yang mengelola sektor pendidikan menjadi bermalas-malasan, tidak kreatif, dan kurang menghasilkan program yang inovatif. Padahal semakin besar anggaran yang dipercayakan pada departemen atau daerah menuntut tanggung jawab moral yang semakin tinggi.

”Besarnya anggaran pendidikan bisa membuat pejabat di Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama ongkang-ongkang kaki. Sebab, tanpa berpikir keras pun uang pasti datang karena siapa pun presidennya tidak akan ada yang berani menolak konstitusi,” ujar Sri Mulyani.

Perlu dicermati
Sri Mulyani mengatakan, tingginya aliran dana pendidikan ke daerah juga perlu dicermati secara lebih serius oleh aparat di daerah. Adanya dana alokasi khusus (DAK) pendidikan yang digunakan untuk peningkatan kondisi fisik dan fasilitas sekolah, menurut Sri Mulyani, mestinya seluruh kondisi fisik sekolah di Tanah Air memadai.

”Setelah DAK pendidikan dinaikkan, jangan sampai ada media massa yang masih menemukan foto sekolah yang rusak. Seharusnya itu tidak boleh terjadi lagi,” tuturnya.

Dilanjutkan
Sementara itu, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Paskah Suzetta menegaskan, seluruh program jaring pengaman sosial tetap akan dilaksanakan pada tahun 2010, termasuk bantuan operasional sekolah (BOS). Meski demikian, pemerintah belum menentukan besarnya anggaran yang akan dialokasikan pada program tersebut.

”Kondisi perekonomian belum sepenuhnya membaik sehingga seluruh program jaring pengaman sosial akan tetap akan dilaksanakan pada tahun 2010, baik BOS, Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), juga PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat),” ujar Paskah. (OIN)

Wednesday, April 22, 2009

Brain Drain Bad for The Nation

"Brain Drain" Rugikan Bangsa
Rabu, 22 April 2009 | 03:48 WIB

Jakarta, Kompas - Eksodus anak-anak berprestasi ke luar negeri, atau ada yang menyebutnya brain drain, merugikan bangsa. Indonesia kehilangan sumber daya manusia berkualitas yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan.

Sebelumnya diberitakan, ratusan siswa Indonesia berprestasi diincar universitas publik di Singapura yang agresif mempromosikan diri dan mencari anak- anak brilian di Indonesia. Para siswa itu diberikan kemudahan pembiayaan mulai dari subsidi Pemerintah Singapura (tuition grant) dengan ikatan kerja tiga tahun, beasiswa (biaya hidup, buku, komputer dan uang saku), serta pinjaman bank yang dibayarkan setelah lulus.

Pakar pendidikan, Prof Soedijarto, mengatakan, Selasa (21/4), migrasi anak cerdas tersebut berarti potensi mereka tidak dimanfaatkan di Indonesia. Permasalahan itu tidak selesai dengan upaya mempertahankan mereka di Tanah Air di tengah kondisi yang serba tidak menjanjikan.

”Anak-anak itu tidak dapat disalahkan. Permasalahannya lebih kompleks, belum terbangun iklim, tantangan, dan peluang. Salah satunya ialah suasana riset dan lapangan pekerja sesuai kelak. Iklim itu seharusnya dapat dibangun melalui pengembangan sistem pendidikan, riset, dan industri yang terarah serta visioner,” ujarnya.

Dunia riset di Indonesia sendiri belum diperhatikan. Di negara maju, seperti Amerika, anggaran riset 2,3 persen produk domestik bruto (PDB), sementara di Indonesia baru 0,05 persen tahun 2004. Pada tahun yang sama, anggaran riset Malaysia sudah 0,7 persen PDB. Kalaupun terjadi kenaikan tidak besar dan negara lain sudah jauh lebih besar lagi alokasi anggarannya. Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan menjadi contoh negara yang maju dengan memperkuat infrastruktur teknologi.

Penghargaan minim

Menurut Soedijarto, penghargaan terhadap kaum intelektual masih minim. Soedijarto saat masih menjadi guru besar Universitas Negeri Jakarta dengan golongan tertinggi 4E enam bulan lalu menerima gaji sekitar Rp 4,2 juta per bulan. Dia sempat merasakan kenaikan kesejahteraan yakni tambahan sekitar Rp 3 juta per bulan selama enam bulan terakhir. Namun, itu pun masih relatif kecil dibandingkan dengan gaji guru besar di luar negeri, seperti di Malaysia yang besarnya Rp 42 juta per bulan. Penghargaan terhadap pekerja bidang pendidikan dan penelitian masih lebih kecil dibandingkan dengan politikus di DPR yang pendapatannya bisa mencapai Rp 42 juta per bulan.

Aktivis Koalisi Pendidikan, Lodi Paat, menambahkan, pembangunan pendidikan harus berbarengan dengan riset dan perekonomian, dalam hal ini industri. Mereka yang belajar di luar negeri dan pulang, tetapi tidak mendapatkan lapangan pekerjaan sesuai di Indonesia akan putus asa. Lodi mencontohkan, pada era Habibie banyak anak cerdas belajar di luar negeri untuk kedirgantaraan dan kemudian disiapkan suatu sistem berupa industri. Kini industri tidak digarap serius. (INE)

Irregularities Found in BOS (School Operational Assistance) Funding

Dana BOS Bermasalah
Rabu, 22 April 2009 | 03:50 WIB

Jakarta, Kompas - Badan Pemeriksa Keuangan melaporkan kepada DPR soal dana bantuan operasional sekolah dan dana pendidikan lainnya senilai Rp 1,56 triliun yang dinilai bermasalah. Salah satu yang dipermasalahkan adalah 2.592 sekolah penerima tidak melaporkan dana itu.

Bantuan operasional sekolah (BOS) dan dana pendidikan lainnya (DPL) yang diterima 2.592 sekolah itu tahun 2008 sebesar Rp 624,192 miliar, tetapi tidak dilaporkan sekolah sebagai bagian dari penerimaan dalam Rencana Anggaran dan Pendapatan Belanja Sekolah (RAPBS).

”Hal itu mengakibatkan akuntabilitas penerimaan sekolah atas berbagai sumber pembiayaan tidak transparan dan berpotensi disalahgunakan,” ujar Ketua BPK Anwar Nasution seusai Rapat Paripurna DPR yang mengagendakan Penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II Tahun Anggaran 2008 di Jakarta, Selasa (21/4).

BPK menemukan dana BOS digunakan untuk membeli buku di luar jenis buku dalam petunjuk teknis senilai Rp 1,219 miliar. Akibatnya, sebagian buku tidak bisa dimanfaatkan. Pada saat yang sama, BPK juga menemukan ada sisa dana BOS dan pendapatan jasa giro senilai Rp 23,393 miliar yang tidak disetor kembali ke kas negara. Dana BOS juga digunakan untuk keperluan yang tidak sesuai dengan petunjuk teknis senilai Rp 28,4 miliar.

Temuan di daerah menunjukkan ada 47 sekolah dasar (SD) dan 123 sekolah menengah pertama (SMP) di 15 kabupaten atau kota yang belum membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu. ”Ini mengakibatkan tujuan program BOS untuk membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu menjadi tidak sepenuhnya tercapai,” kata Anwar.

Terlambat disalurkan

BPK juga melaporkan, penyaluran BOS di 32 provinsi mengalami keterlambatan sehingga dana operasional sekolah tidak tersedia tepat waktu. Akibatnya, beberapa sekolah terpaksa meminjam uang dari pihak lain untuk keperluan operasional sekolah sehingga memengaruhi proses belajar-mengajar.

Adapun di sisi DPL, BPK menemukan bahwa aset tetap di sekolah yang berasal dari sumber dana bantuan pemerintah pusat dan daerah senilai Rp 744,8 miliar tidak jelas status kepemilikan dan pengurusannya. Akibatnya, pemerintah daerah tidak bisa menganggarkan biaya pemeliharaan atas aset yang dikuasainya karena belum menjadi aset milik pemerintah daerah. Risikonya adalah bisa terjadi penyalahgunaan aset, seperti hilang atau dikuasai pihak lain.

Temuan menonjol lainnya yang dilaporkan terkait dengan dana alokasi khusus (DAK) bidang pendidikan. BPK melaporkan ada pelaksanaan pekerjaan yang dibiayai DAK tidak dilakukan secara swakelola dan malah diarahkan kepada rekanan tertentu senilai Rp 96,718 miliar. Selain itu, ada penitipan uang pajak DAK Rp 1,635 miliar tidak disetor ke kas negara dan digunakan untuk keperluan lain.

”BPK menyimpulkan bahwa secara umum pengendalian terhadap pengelolaan dan pertanggungjawaban dana BOS dan DPL telah memadai, tetapi masih perlu mendapat perhatian dari pemerintah khususnya terkait desain pengendalian dan pelaksanaannya,” kata Anwar. (OIN)

Saturday, April 18, 2009

School Standard Improves with National Exit Exams

Standar Sekolah Naik
Dilarang Pungut Uang untuk Ujian Nasional
Jumat, 17 April 2009 | 03:53 WIB

Jakarta, Kompas - Beberapa sekolah negeri dan swasta unggulan di Jakarta menaikkan standar nilai kelulusan di atas standar nilai ujian nasional 5,5. Peninggian nilai kelulusan diizinkan oleh pemerintah pusat untuk memacu peningkatan kualitas pendidikan di sekolah masing-masing.

”Terdapat sekitar 50 SMA negeri dan swasta di Jakarta yang menargetkan nilai 6,0 sampai 7,0 untuk standar kelulusan siswa- siswi mereka,” kata Kepala Bidang Kurikulum Dinas Pendidikan DKI Jakarta Amsani Idris saat menyampaikan kesiapan pelaksanaan ujian nasional untuk SMA yang akan dimulai pekan depan, Kamis (16/4) di Jakarta Selatan.

Menurut Amsani, peninggian nilai kelulusan dapat dilakukan karena masih dalam lingkup sistem manajemen berbasis sekolah. Pengelola sekolah dapat meningkatkan standar nilai kelulusan jika para siswa dinilai mampu mencapainya.

Namun, kata Amsani, sekolah yang ingin menaikkan standar kelulusannya harus mengirimkan surat permohonan kepada Dinas Pendidikan dan meminta restu orangtua murid. Jangan sampai kebijakan sekolah untuk menaikkan standar kelulusan justru merugikan siswa dan diprotes orangtua.

Amsani mengatakan, sekolah- sekolah yang menaikkan standar kelulusan antara lain SMA 70, SMA 8, SMA 13, SMA 78, SMA 81, SMA 21, dan SMA 6. Sedangkan beberapa sekolah swasta di antaranya SMA Santa Ursula, SMA Al Azhar, SMA Lab School, dan SMA IPK Tomang.

Peningkatan standar nilai kelulusan, kata Amsani, dapat memacu persaingan prestasi yang positif di antara sekolah. Siswa juga akan terpacu untuk meningkatkan kemampuan dan penguasaan materi pelajaran.

Untuk mencapai target yang melebihi standar nasional, kata Amsani, sekolah dapat mengadakan pelajaran tambahan atau les intensif dan tes-tes uji coba.

Ujian nasional

Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto mengatakan, ujian nasional akan digelar pada 20 hingga 24 April untuk tingkat SMA, SMK, madrasah aliyah, dan SMA luar biasa. Ujian nasional untuk tingkat SMP atau sederajat akan digelar pada 27 sampai 30 April dan ujian untuk tingkat SD atau sederajat pada 11 sampai 31 Mei.

Pemprov, kata Taufik, menargetkan peningkatan tingkat kelulusan dibanding tahun lalu. Pada 2008, tingkat kelulusan untuk SMA 94 persen, SMK 93,76 persen, dan SMP 99,98 persen.

Menurut Yudi, pemerintah menganggarkan dana Rp 12,7 miliar untuk membiayai ujian nasional. Dengan kucuran dana itu, pengelola sekolah negeri dan swasta tidak boleh memungut uang untuk ujian nasional kepada siswa. Yudi juga menjamin tidak ada kebocoran soal ujian nasional. (ECA)

The Constitutional Court to Examine The BHP Law

UU BHP
Sidang MK Kembali Digelar
Jumat, 17 April 2009 | 04:59 WIB

Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan uji materi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Sebelumnya dua permohonan uji materi lainnya telah masuk ke MK terhadap undang-undang yang sama.

Sembilan pemohon kali ini antara lain berasal dari unsur mahasiswa, guru, dosen, orangtua murid, Yayasan Sarjana Taman Siswa, Sentra Advokasi untuk Hak Pendidikan Rakyat (SAHdaR), Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Qaryah Thayyibah, dan Serikat Rakyat Miskin Kota.

Mereka memohon agar semua pasal dalam undang-undang tersebut diuji materi. Koordinator Tim Advokasi Koalisi Pendidikan Taufik Basari mengatakan, UU tersebut menciptakan paradigma baru yang tidak sejalan dengan paradigma dalam UUD 1945. Dalam konstitusi, paradigmanya ialah pendidikan sebagai barang publik.

”UU BHP memperlakukan pendidikan layaknya komoditas pasar. Dalam undang-undang itu, syarat penyelenggaraan pendidikan agar maju dan berkembang adalah kemampuan meraup dan menghimpun dana sebesar-besarnya,” ujar Taufik.

Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi mempertanyakan landasan yuridis pendidikan jika secara keseluruhan UU BHP dihapus. ”Berarti tak ada UU BHP, atau dibumihanguskan seluruhnya. Coba itu direnungkan,” ujarnya.

Taufik seusai pemeriksaan menyatakan, tidak akan terjadi kekosongan hukum karena ketiadaan UU BHP. Pendidikan nasional tidak berangkat dari titik nol. Telah ada berbagai perundangan tentang pendidikan.(INE)

Thursday, April 16, 2009

The Need for Imported Text Books Increases

Excerpt:
With the number of international-standard schools increasing, the need for imported text books is also incresing.

IEI - Thursday, 16 April 2009

BUKU PELAJARAN
Kebutuhan Buku Pelajaran Impor Meningkat
Kamis, 16 April 2009 05:03 WIB


Jakarta, Kompas - Seiring dengan semakin banyaknya sekolah-sekolah berstandar internasional, kebutuhan buku pelajaran impor meningkat. Sekolah juga tergantung dari keberadaan buku impor itu mengingat penerbit lokal belum dapat menyediakan buku-buku tersebut.

Executive Director PT Mentari Books Indonesia Anna Rimba Phoa mengatakan, Rabu (15/4), penjualan buku-buku pelajaran impor setiap tahunnya naik 20 persen hingga 30 persen. Toko buku tersebut menspesialisasikan diri ke penjualan buku pelajaran dan bacaan anak impor. Umumnya, buku tersebut berbahasa Inggris dan Mandarin.

Para pengguna buku-buku tersebut antara lain sekolah-sekolah berstandar internasional baik swasta maupun negeri. Sejauh ini, total sekolah berstandar internasional yang bekerja sama dengannya mencapai 2.000 sekolah.

Tidak bisa sembarangan

Anna mengatakan, lima tahun belakangan, sekolah-sekolah semakin menyadari globalisasi dan muncul kebutuhan akan pendidikan yang dapat bersaing secara internasional. Terlebih lagi, pemerintah juga kemudian mendorong munculnya sekolah berstandar internasional.

”Sekolah-sekolah tersebut umumnya menggunakan kurikulum Cambridge, British, Singapore, dan International Baccalaureate,” ujarnya. Penggunaan buku juga tidak bisa sembarangan.

Dia mencontohkan, buku-buku yang digunakan dalam kurikulum Cambridge merupakan buku yang sesuai dengan Cambridge International Examinations. Oleh karena itu, sulit mencari buku-buku yang diperlukan tersebut hasil penerbit lokal.

Agar para guru dapat memanfaatkan secara maksimal buku- buku impor tersebut, Anna mengadakan pula pelatihan bagi para guru. Tahun 2008, ada 4.53 guru dari 1889 sekolah yang mendapatkan pelatihan. Tema pelatihan seputar manajemen kelas, cara memotivasi anak belajar, menulis efisien, dan lain-lain.

Ketua Pusat Buku Indonesia sekaligus Ketua Gabungan Toko Buku Indonesia, Firdaus Oemar, mengatakan, sejak lama sejumlah toko buku mengimpor buku.

Belakangan, seiring dengan globalisasi pendidikan, toko buku juga mengimpor buku teks pelajaran. ”Biasanya impor buku pelajaran dari Singapura,” ujar Firdaus.

Dia mengatakan, ada pula penerbit lokal yang menerbitkan buku-buku untuk keperluan kurikulum internasional tersebut, tetapi jumlahnya masih terbatas.

”Fenomena semakin banyaknya sekolah berstandar internasional dapat menjadi peluang bagi toko buku dan penerbit,” ujarnya.

Di Pusat Buku Indonesia, pihaknya juga menyediakan buku bacaan impor dengan harga murah. Buku-buku impor tersebut merupakan buku baru atau bukan buku bekas pakai.

”Di negerinya, buku-buku itu sudah dua sampai tiga tahun tidak laku sehingga dijual sangat murah. Biasanya dikategorikan sudah lewat waktu. Di Indonesia, buku-buku tersebut masih dapat digunakan. Apalagi buku yang isinya tidak terikat waktu seperti sastra dan sejarah,” ujarnya.

Selebihnya, Pusat Buku Indonesia masih tetap fokus memasarkan buku teks pelajaran murah pemerintah. (INE)

Wednesday, April 15, 2009

One Teacher One Laptop Program

Excerpt:
The One Teacher One Laptop program (Sagusala) is a program initiated by Indonesia Teachers Club (ITC) of which the objective is to facilitate every teacher to own a laptop at a reduced price.

ITC is working together with computer producers and vendors and the government in carrying out the program. ITC currently has members in six Indonesian provinces.

IEI - Wednesday, 15 April 2009


MUTU PENDIDIKAN
Setiap Guru Diharapkan Mendapat Satu Laptop
Rabu, 15 April 2009 04:44 WIB


Jakarta, Kompas - Kepemilikan laptop menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan kualitas guru. Karena itu, komunitas guru yang tergabung dalam Klub Guru Indonesia terus mengembangkan kepemilikan laptop bagi para guru yang diberi nama program Satu Guru Satu Laptop atau Sagusala.

Untuk mendapatkan laptop murah dengan harga sekitar Rp 3 juta, Klub Guru Indonesia yang memiliki anggota di enam provinsi menggandeng beberapa vendor pembuat komputer. ”Karena peminatnya sangat banyak, ribuan guru, produsen bisa memberikan harga murah,” kata Ketua Umum Klub Guru Indonesia Satria Dharma, Selasa (14/4) di Jakarta.

Selain menggaet produsen, Satria juga berharap pemerintah daerah dan pemerintah provinsi memberikan bantuan dana agar para guru bisa memiliki laptop. Bisa juga bank pembangunan daerah menyediakan kredit bagi para guru agar bisa membeli laptop dengan cara mencicil.

Program diperbaiki
Business Development Manager World Ahead Program Intel Indonesia Arya Sanjaya mengatakan, secara prinsip Intel mendukung proses pembelajaran menggunakan teknologi berbasis komputer. Intel juga mendukung peningkatan kepemilikan komputer oleh guru.
”Untuk Sagusala ini masih diperbaiki dari sisi komposisi program. Jadi masih terlalu dini memperinci detail programnya,” kata Arya. Komposisi dimaksud misalnya terkait spesifikasi komputer, harga, sistem pembiayaan, dan detail lainnya.

Menurut Timothy Siddik, President Director PT Zyrexindo Mandiri Buana, produsen yang memproduksi komputer dengan merek Zyrex, pihaknya memang mendukung Sagusala. Zyrex bahkan sudah merancang beberapa model khusus. (AMR)

Community Members Still Reluctant to Supervise School Budget Use

Excerpt:
Community members are still reluctant to participate in supervising the use of school budget. This situation has made it difficult to counterbalance the headmaster's domination of authority in managing school's budget.

IEI - Wednesday, 15 April 2009

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
Masyarakat Masih Enggan Mengawasi Anggaran Sekolah
Rabu, 15 April 2009 04:53 WIB

Jakarta, Kompas - Masyarakat masih enggan ikut mengawasi penggunaan dana pendidikan sekolah sehingga sulit untuk mengimbangi dominasi kewenangan kepala sekolah. Padahal, sekolah gratis yang benar- benar bebas pungutan sulit tercapai selama kebocoran dan penyelewengan anggaran pendidikan di berbagai tingkatan, terutama sekolah, masih terjadi.

Guna memberdayakan masyarakat, sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengadakan percontohan Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (APBS) Partisipatif. Model tersebut dimulai dengan 10 SDN percontohan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, serta enam SDN di Kabupaten dan Kota Tangerang.

Sekretaris Jenderal Garut Government Watch (G2W) Agus Sugandi mengatakan, Selasa (14/4), percontohan APBS Partisipatif berjalan setahun lebih. Sebelumnya, sekolah sangat tertutup sehingga masyarakat tidak mempunyai akses ke sekolah.

”Kami lalu mengumpulkan komite sekolah, guru, orangtua, dan kepala sekolah untuk merumuskan, membahas, dan mengesahkan APBS bersama,” ujarnya. APBS hasil rumusan bersama itu dipublikasikan di lingkungan sekolah. Pelaksanaan APBS juga dievaluasi.
Dampaknya, pungutan mengecil. Sekolah-sekolah yang menjadi percontohan itu umumnya mengelola anggaran sekitar Rp 10 juta per tahun anggaran.

Wildan Chandra, Ketua Serikat Guru Kabupaten Tangerang, mengatakan, terdapat enam SDN di Kabupaten Tangerang yang diadvokasi agar proses penyusunan dan penggunaan APBS Partisipatif.

Dia mengungkapkan, terdapat masalah komunikasi antara masyarakat dan sekolah. ”Keinginan masyarakat membangun sekolah sudah ada. Namun, komunikasi dengan pihak sekolah sulit. Masyarakat, terutama orangtua, masih segan,” ujarnya.

Gerakan penyadaran
Partisipasi publik yang lebih luas dalam pengawasan anggaran sekolah perlu dibangun. Untuk itu, Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia, dan Dompet Dhuafa meluncurkan gerakan pengawasan anggaran sekolah serta penggalangan dana publik untuk pengawasan dana pendidikan, Selasa. Penggalangan dana itu juga untuk membantu sekolah percontohan di Garut dan Tangerang.

Ade Irawan dari Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW mengatakan, sebagian besar anggaran pendidikan, termasuk dana BOS, dikelola oleh sekolah. Tata kelola sekolah sangat buruk sehingga potensi korupsi anggaran pendidikan, termasuk dana BOS, sangat besar. (INE)

Only 166 Scientific Journals Have Received National Accreditation

Excerpt:
Out of hundreds of scientific journals published in Indonesia, only 116 have received national accreditation. Many journals cannot get accredited because they cannot publish regularly, do not have full-time editors, and because of their poor reviewing capability.

This year, the goverment is encouraging 50 national scientific journals to upgrade their quality to become international journals by providing each of them with financial assistance of IDR 150 million. In addition to this, 200 other journals will also receive IDR 50 million each to improve their quality to meet the national-standard journals.

Financial support will also be given to 50 out of 300 professional organizations to participate in international scientific forums. Each of them will receive IDR 500 million.

Indonesia's research productivity level is still very low, according to Fasli Jalal, the Director General for Higher Education of the Department of National Education. Scientists only contribute about 0.8 percent of article per 1 million population in the scientific journals.

IEI - Wednesday, 15 April 2009

Penelitian
Baru 116 Jurnal Ilmiah Berakreditasi Nasional
Rabu, 15 April 2009 04:42 WIB

Jakarta, Kompas - Dari ratusan jurnal ilmiah yang ada di Tanah Air, baru 116 jurnal ilmiah yang berakreditasi nasional. Rendahnya mutu jurnal ilmiah yang lain karena penerbitannya tidak teratur, editor yang tidak penuh waktu, dan kemampuan review yang rendah.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Fasli Jalal di Jakarta, Selasa (14/4), mengatakan, tahun ini pemerintah mendorong 50 jurnal ilmiah nasional dengan dukungan dana masing-masing Rp 150 juta untuk bisa meningkatkan kualitasnya sehingga mampu masuk menjadi jurnal ilmiah internasional. Selain itu, dukungan peningkatan mutu untuk menjadi jurnal ilmiah berskala nasional juga diberikan kepada 200 jurnal ilmiah dengan dana masing-masing Rp 50 juta.

Menurut Fasli, ada 50 dari 300 organisasi profesi yang didukung pemerintah untuk bisa mengadakan atau menghadiri forum ilmiah internasional dengan dana masing-masing Rp 500 juta.

Menurut Fasli, produktivitas penelitian di Indonesia masih rendah. Kemampuan ilmuwan untuk menyumbang penelitian ke jurnal ilmiah hanya 0,8 artikel per 1 juta penduduk. Padahal, di Indonesia saat ini ada 7.900 peneliti dari LIPI, BPPT, dan lembaga penelitian di departemen, sedangkan di perguruan tinggi ada sekitar 155.000 dosen.

Penghargaan intelektual
Pada tahun ini, pemerintah menggelar penghargaan kepada dosen, peneliti, dan masyarakat yang menghasilkan kekayaan intelektual luar biasa.

Sadjuga dari Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi mengatakan, penghargaan tersebut untuk memotivasi para penghasil kekayaan intelektual agar terus eksis dengan keahliannya.

Adapun kategori penghargaan dibagi atas kekayaan industri yang meliputi 14 subbidang serta hak cipta yang terdiri atas 26 bidang ilmu pengetahuan dan 10 bidang industri kreatif. Penghargaan diberikan untuk 50 pemenang dengan hadiah masing-masing Rp 250 juta.

Hindarwati, Kepala Perlindungan Varietas Tanaman Departemen Pertanian, mengatakan, penelitian di bidang pertanian sebenarnya cukup banyak, tetapi belum dimanfaatkan optimal. (ELN)

Tuesday, April 14, 2009

Universities Form Quality Assurance Community Forum

Exerpt:
34 private and state universities in the greater Jakarta area (Jakarta, Bogor, Depok, and Tangerang) formed Higher Education Quality Assurance Center Community Forum yesterday (Mon, 13/4). Through this forum it is expected that these universities could share and exchange information about quality assurance.

The membership of forum is expected to expand as more universities are joining in and cover the whole island of Java by 2010 and the whole country by 2011.

IEI - Tuesday, 14 April 2009


MUTU PENDIDIKAN
Perguruan Tinggi Bentuk Komunitas Penjaminan Mutu
Selasa, 14 April 2009 | 05:03 WIB

Jakarta, Kompas - Sebanyak 34 perguruan tinggi negeri dan swasta di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang membentuk Forum Komunitas Pusat Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi bertempat di Universitas Binus, Senin (13/4). Melalui forum tersebut, diharapkan perguruan tinggi dapat berbagi dan bertukar informasi banyak hal tentang sistem penjaminan mutu.

Quality Management Center Manager Binus University, sekaligus anggota tim pembentuk formatur pengurus forum tersebut, David Sakti Satyawan, mengatakan, sistem penjaminan mutu secara internal merupakan otonomi perguruan tinggi. Penjaminan mutu perguruan tinggi tersebut meliputi segi akademis maupun non-akademis.

Jaminan mutu merupakan indikator kesehatan suatu organisasi dan kinerja akademik universitas.

”Perguruan tinggi menentukan sendiri seberapa bagus dan ketat pengawasan kualitasnya. Ini saatnya memperkuat kerja sama antarperguruan tinggi untuk mengembangkan sistem penjaminan mutu sebagai salah satu faktor meningkatkan daya saing,” ujar David.

Pimpinan dan pengelola perguruan tinggi dalam forum tersebut akan berbagi informasi dan praktik-praktik penjaminan mutu terbaik mereka sehingga peserta komunitas dapat saling belajar. ”Semangat pembentukan komunitas ini adalah menjalin kerja sama untuk meningkatkan kualitas bersama,” ujarnya.

Ditargetkan, pada masa mendatang akan semakin banyak perguruan tinggi yang bergabung dalam komunitas ini. Pada tahun 2010, forum akan meluaskan jangkauannya di Pulau Jawa dan ditargetkan tahun 2011 keanggotaan forum dari seluruh Indonesia.

Jika penjaminan mutu secara internal semakin baik, David meyakini perguruan tinggi tidak akan kesulitan memenuhi ukuran dari penjamin mutu yang ditetapkan secara eksternal, seperti Departemen Pendidikan Nasional dan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. (INE)

Only 20 Percent of Indonesian Open University Students Attend Online Classes

Excerpt:
Less than 20 percent of Open University students have the capability of accessing online tutorials. According to Tian Belawati, Deputy Rector I of the Open Univesity, out of 530,000 Open University students, only 6,000 are already registered in online classes. Many of those who do not make use of online classes are teachers, says Tian.

Open University is encouraging its students to make use of the internet technology by giving extra points to those who do. It is expected that 35 percent of its students will make use of the internet as a learning medium by 2020.

IEI - Tuesday, 14 April 2009

UNIVERSITAS TERBUKA
Hanya 20 Persen Mahasiswa yang Belajar "Online"
Selasa, 14 April 2009 | 05:00 WIB

Tangerang, Kompas - Hingga saat ini, kurang dari 20 persen mahasiswa Universitas Terbuka yang mampu memanfaatkan pembelajaran secara online atau tutorial online. Rendahnya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di kalangan mahasiswa UT ini karena masih minimnya kemampuan mengakses internet.

M Atwi Suparman, Rektor UT, di sela-sela peresmian gedung di lingkungan UT di Tangerang, Senin (13/4), mengatakan, sebenarnya sebagai institusi penyelenggara pendidikan jarak jauh, kuliah dengan berbasis pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di UT sudah siap. Pendidikan berbasis TIK juga sangat efektif untuk UT yang mahasiswanya tersebar.

”Yang belum siap justru mahasiswanya karena mereka tidak punya akses yang bagus terhadap internet,” kata Atwi.

Padahal, kata Atwi, fasilitas layanan kuliah lewat internet sudah disediakan. Namun, pemanfaatan layanan e-book store, yang memungkinkan mahasiswa memesan sumber belajar secara online, rendah. Mereka lebih suka ada toko buku konvensional. Layanan ujian online pun tidak dimanfaatkan dengan baik oleh mahasiswa UT yang 98 persen mahasiswanya berstatus sebagai pekerja atau karyawan.

Terutama guru

Tian Belawati, Pembantu Rektor I UT, menjelaskan, dari sekitar 530.000 mahasiswa UT yang tersebar di seluruh Tanah Air, baru 6.000 mahasiswa yang tercatat memanfaatkan tutorial online.

”Mahasiswa UT masih belum maksimal memanfaatkan internet sebagai media belajar, seperti tutorial online. Yang rendah itu terutama dari kalangan mahasiswa yang bekerja sebagai guru,” kata Tian.

Untuk memacu penggunaan internet di kalangan mahasiswa, UT memberikan poin tambahan untuk mahasiswa tingkat akhir yang melakukan bimbingan online dalam pembuatan tugas akhir program. Pada tahun 2020, ditargetkan sudah 35 persen mahasiswa UT yang memanfaatkan internet sebagai media belajar.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo yang meresmikan pembangunan fisik di UT mengatakan, UT termasuk perguruan tinggi yang membuka akses yang paling luas kepada masyarakat. Karena itu, peningkatan mutu mutlak diberikan dalam pembelajaran bagi mahasiswa.

”Pemanfaatan TIK harus terus dikembangkan,” ujarnya.

Menteri juga meminta agar sumber belajar dan dosen yang bermutu diperkuat.

”Dengan demikian, kualitas UT tidak kalah dengan mahasiswa dari perguruan tinggi yang menyelenggarakan perkuliahan secara tatap muka,” ujar Bambang. (ELN)

Senior High School National Examination Results Can Be Used for University Admission

IEI Editorial Note:
With the budget for education is constitutionally set at 20 percent of the national budget, Indonesia is now gearing up to improve its education system. Different programs ranging from teacher certification to standardizing and accrediting school quality have now been put in place. Three articles that I have chosen to post reflect this.


English Excerpt:

The results of the 2009 high school national examination will be used as part of the consideration for university admission. Fasli Jalal, the director general for higher education of the National Education Department, hopes that the results of high school national examination will be recognized by universities by 2012 or seven years since the enactment of Government Regulation No.19 of 2005 on the Standard of National Education.


IEI, Tuesday, 14 April 2009

UN SMA untuk Masuk PTN
Diuji Coba, Diharapkan Bisa Diterapkan 2012
Selasa, 14 April 2009 | 04:59 WIB

Jakarta, Kompas - Ujian nasional SMA/SMK/ MA tahun 2009 akan digunakan sebagai salah satu pertimbangan masuk ke perguruan tinggi negeri. Saat ini sedang diuji coba dalam bentuk melibatkan perguruan tinggi negeri dalam pelaksanaan UN sehingga soal UN tidak mirip seleksi masuk PTN.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal di Jakarta, Senin (13/4), menjelaskan, pengakuan terhadap hasil ujian nasional (UN) SMA sederajat oleh perguruan tinggi itu diharapkan sudah bisa berjalan pada tahun 2012 atau tujuh tahun setelah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Di dalam peraturan itu disebutkan, UN merupakan salah satu pertimbangan untuk masuk ke jenjang pendidikan berikutnya.

Menurut Fasli, integrasi UN SMA sederajat yang dimulai dengan seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN) itu dimulai dengan melibatkan PTN dalam pelaksanaan UN yang selama ini dilaksanakan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan pemerintah daerah. PTN ikut memberikan masukan untuk meningkatkan kualitas soal-soal UN SMA sederajat.

Selain itu, PTN juga ikut dalam mengawasi pelaksanaan, pendistribusian soal-soal ke daerah, penilaian, hingga pengumuman. Langkah tersebut untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan UN SMA sederajat sehingga hasilnya tidak lagi diragukan PTN.

”Sudah disepakati apa yang diujikan di UN SMA tidak diuji lagi dalam Seleksi Nasional Masuk PTN (SNMPTN). Ujian SNMPTN lebih untuk melihat potensi akademik calon mahasiswa,” kata Fasli.

Adapun soal pembobotan nilai UN SMA sederajat dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru di PTN, kata Fasli, masih belum diputuskan. Para rektor PTN sedang mengevaluasi mengenai pengakuan hasil UN untuk seleksi masuk di masing-masing PTN.

Jika hasil UN SMA sederajat sudah diakui kredibilitas dan kualitasnya, kata Fasli, bisa saja PTN menetapkan nilai batas minimal untuk calon mahasiswa yang bisa mendaftar pada ujian masuk di setiap perguruan tinggi. Dengan demikian, seleksi awal sudah terjadi dari hasil UN sesuai yang diminta PTN.

Bisa untuk PTS

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo secara terpisah mengatakan, mengintegrasikan UN SMA sederajat dengan seleksi masuk PTN nantinya akan lebih mudah dan secara keseluruhan biayanya lebih murah. ”Bisa saja nanti juga hasil UN dipakai untuk seleksi masuk di perguruan tinggi swasta,” kata Bambang.

Gumilar R Somantri, Rektor Universitas Indonesia, mengatakan, integrasi UN dengan seleksi masuk PTN merupakan gagasan dan terobosan yang baik, tetapi tetap perlu kajian yang mendalam agar bisa menyatukan kepentingan sekolah dan perguruan tinggi.

Bagi UI yang didorong untuk menjadi world class university, kata Gumilar, memilih calon mahasiswa berkualitas dan berpotensi akademik cemerlang merupakan syarat penting. Dalam ujian mandiri yang dilaksanakan UI, seperti Simak UI, bobot soal dibuat melampaui UN. (ELN)

Saturday, April 11, 2009

Special Educational Service Lacks Teachers

English Excerpt:
IEI editorial note: Special educational service is a educational service given to underprivileged children who for one reason or another - usually geographical and/or economic - can not attend regular schools.

This article portrays the difficulty faced by Lentera Bangsa, an organization providing special educational service to children of the Muara Angke fishing village in Jakarta, in recruiting teachers for the program. Not many teachers are interested to teach for special educational service programs because they are underpaid and have to face a lot of challenges in their line of work.

Pendidikan Layanan Khusus Kesulitan Guru

Sabtu, 11 April 2009 | 03:13 WIB
Jakarta, Kompas - Pendidikan layanan khusus masih mengalami kendala terutama untuk ketersediaan tenaga pendidik. Pendidikan yang dalam kondisi berbeda dari sekolah reguler umumnya tersebut membuat calon tenaga pendidik enggan menjadi pendidik.

Ketua Pendidikan Layanan Khusus Lentera Bangsa Saefudin Zuhri mengatakan, Jumat (10/4), di pendidikan layanan khusus yang dikelolanya terdapat 180 peserta didik aktif mulai dari jenjang taman kanak-kanak (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA).

Adapun jumlah total peserta didik, termasuk yang tidak aktif, sekitar 300 anak, tetapi hanya terdapat enam guru.

”Masih kurang tiga guru lagi, tetapi kami kesulitan mencari tenaga pendidik,” ujar Saefudin Zuhri.

Pendidikan layanan khusus tersebut diikuti para anak nelayan di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara.

Lantaran harus bekerja membantu orangtua melaut atau menjadi buruh di tempat pelelangan ikan, mereka kesulitan kalau harus mengikuti pendidikan formal di sekolah reguler yang jadwal dan materinya ketat.

Tumbuh dari masyarakat

Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan formal yang inisiatifnya tumbuh dari masyarakat. Para peserta didik dapat belajar di mana dan kapan saja mulai dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas. Pendidikan layanan khusus biasanya menginduk pada sekolah formal terdekat.

Pendidikan layanan khusus ditujukan bagi anak-anak yang terhambat mengikuti sekolah formal karena berbagai persoalan mulai dari letak geografis yang terpencil, pekerja anak, dan anak bermasalah sosial.

Saefudin Zuhri mengatakan, lembaga yang dikelolanya masih kekurangan biaya untuk membayar para guru itu dengan honor layak. Padahal, tugas yang dijalankan terbilang berat karena membuat anak yang bekerja untuk tetap tertarik belajar tidaklah mudah.

Sejauh ini, para guru yang bertugas di pendidikan layanan khusus dibayar Rp 600.000 per bulan. Para guru tersebut datang dari berbagai wilayah di Jakarta dan bukan dari warga sekitar. Bantuan dari pemerintah sejauh ini berupa blockgrant.

Direktur Pembinaan Pendidikan Luar Biasa Departemen Pendidikan Nasional Eko Djatmiko menambahkan, pengembangan pendidikan layanan khusus memang terkendala ketersediaan guru atau tenaga pendidik.

”Pendidikan layanan khusus berlokasi di tempat-tempat yang sulit dijangkau atau mahal biaya transportasinya. Anak-anak yang dilayani juga dengan karakter khusus sehingga tidak mudah,” ujarnya.

Sejauh ini pemerintah sudah memberikan bantuan berupa blockgrant yang diberikan berdasarkan proposal yang diajukan oleh lembaga pengelola pendidikan layanan khusus dan pengelola mengatur sendiri sesuai dengan kebutuhan.

Akan tetapi, memang belum ada alokasi khusus untuk honor para pendidik di pendidikan layanan khusus tersebut. (INE)

Target Quota for Teacher Certification Difficult to Meet

English Excerpt:
Target quota for teacher certification is difficult to meet because many teachers have not met the required academic qualification of s1 (undergraduate degree) or D4 (4 year diploma). To offset this shortage, certification will temporarily be prioritized to teachers who have taught for 20 years and are 50 years old.

Certification of teachers who have not met the academic qualification is made possible with the issuance of the Government Regulation No.74 of 2008.

To help the underqualified teachers get the required academic qualification the government will also provide scholarship/financial assistance to continue their education. This year the assistance will be given to 191,000 teachers, up from last year's quota of about 170,000. Priority for the scholarship will be given to kindergarten and elementary school teachers.

According to Directorate General for the Improvement of Teacher Quality (Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan) of the Department of National Education, up until 2007 only 16.57 percent of elementary school teachers have the S1 qualification. At the junior, senior, and vocational high schools the percentagages of teachers with S1 qualification are 61.31 percent, 83.34 percent, and 77.53 percent, respectively.

As pf 2008, certification has been given to 400,450 out of the total of about 2.7 million teachers. The certification process is scheduled to be completed by 2015.

IEI - Saturday, 11 April 2009


Sertifikasi Sulit Tercapai
Guru Terganjal Persyaratan Gelar Strata Satu atau Diploma IV
Sabtu, 11 April 2009 | 03:36 WIB

Jakarta, Kompas - Setelah tiga tahun berjalan, kuota sertifikasi guru sulit tercapai karena banyaknya guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik strata satu atau diploma IV. Karena itu, tahun ini sertifikasi diarahkan dulu untuk guru yang sudah mengabdi 20 tahun dan berusia 50 tahun.

”Sejalan dengan itu, guru-guru lain harus mempersiapkan diri agar memenuhi kualifikasi akademik S-1 atau D-IV,” kata Achmad Dasuki, Direktur Profesi Pendidik pada Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas di Jakarta, Jumat (10/4).

Dasuki mengatakan, sertifikasi guru untuk mereka yang belum berkualifikasi akademik S-1 atau D-IV bisa dilakukan setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru.

”Tahun ini diprioritaskan dulu untuk pengawas dan guru yang sudah golongan IV A dengan usia minimal 50 tahun dan mengajar 20 tahun. Asal mereka guru PNS atau guru tetap yayasan, mereka bisa dimasukkan dalam jatah sertifikasi meskipun belum memenuhi kualifikasi S-1 atau D-IV,” kata Dasuki.

Untuk mempercepat pemenuhan kualifikasi guru berakademik S-1 dan D-IV, katanya, pemerintah meningkatkan pemberian beasiswa pendidikan, terutama bagi guru TK dan SD. Tahun ini kuotanya mencapai 191.000 guru atau naik sekitar 21.000 guru dari tahun lalu.

”Untuk tahun berikutnya, prioritas beasiswa pendidikan guru mulai diberikan untuk pengajar SMP dan SMK,” kata Dasuki.

Baru 16,5 persen

Berdasarkan data Ditjen PMPTK, hingga tahun 2007 tercatat baru 16,57 persen guru SD berkualifikasi S-1 dan guru SMP sebanyak 61,31 persen. Di jenjang pendidikan menengah, guru SMA yang berkualifikasi akademik S-1 sebanyak 83,34 persen dan SMK sebesar 77,53 persen.

Hingga tahun 2008, jatah sertifikasi guru dalam jabatan baru diberikan kepada 400.450 guru dari total guru sekitar 2,7 juta orang. Program sertifikasi guru tersebut harus selesai pada tahun 2015.

Ketua Tim Moninoring dan Evaluasi (Monev) Independen 2008 yang dibentuk Konsorsium Sertifikasi Guru, Unifah Rosyidi, mengatakan, dari temuan di lapangan beberapa daerah dalam dua sampai tiga tahun ke depan akan kesulitan menyediakan guru berkualifikasi akademik S-1 atau D-IV.

Kondisi itu antara lain karena di daerah tersebut tidak ada perguruan tinggi ilmu kependidikan, sedangkan guru tidak boleh meninggalkan tugas kerja demi mengejar gelar sarjana.

Dari hasil Monev sertifikasi guru 2006-2008 ditemukan bahwa persoalan seperti pemenuhan jumlah kuota, kesesuaian rekrutmen guru dengan persyaratan, transparansi nama guru sesuai kuota, serta dukungan penyelenggaraan dari pemerintah kota/kabupaten masih rendah. Karena itu, penting adanya suatu sistem mekanisme kerja dan sistem penjaminan mutu agar proses sertifikasi guru di semua daerah menjadi sama.

Unifah mengatakan, tidak terpenuhinya kuota sertifikasi guru karena dasar penentuan karakteristik guru yang berbeda sama sekali di tingkat provinsi dengan kabupaten/kota. Selain itu, desain penentuan kelompok sasaran tidak sesuai dengan kondisi guru di lapangan.

”Kebijakan ini menjadi tidak adil. Karena guru yang baru bekerja lima tahun tetapi sudah S-1 bisa diikutkan sertifikasi. Sebaliknya guru yang sudah mengabdi puluhan tahun tetapi belum sarjana malah disisihkan,” ujarnya. (ELN)

Thursday, April 9, 2009

Teacher Certification Needs To Be Evaluated: Improve Assessment of the Originality of Portfolio Documents

English Exerpt:
This article resports on the recommendation made by Independent Evaluation and Monitoring Team (Monev) that has been chosen by the Teacher Certification Consortium to evaluate and monitor the process of the 2008 In-Service Teacher Sertification.

The Teacher Sertification Program which has been ongoing for the past three years and is scheduled to be completed by 2015 has been marred by fraud and fake portfolio documents submitted by the teachers to pass the certification.

IEI - Thursday, 9 April 2009


Pelaksanaan Sertifikasi Guru Perlu Dievaluasi
Perketat Penilaian Keaslian Dokumen Portofolio
Kamis, 9 April 2009 03:46 WIB


Jakarta, Kompas - Pelaksanaan sertifikasi guru yang sudah berjalan sekitar tiga tahun masih diwarnai dengan adanya kecurangan dalam pelampiran dokumen portofolio. Pemalsuan dokumen portofolio yang menonjol terutama sertifikat keikutsertaan guru dalam forum ilmiah.

Selain perlu memperbaiki penilaian keabsahan dokumen-dokumen dan menindak tegas setiap pelanggaran, sosialisasi kepada guru juga perlu terus ditingkatkan. Program sertifikasi guru ini diminta untuk tetap mengutamakan peningkatan mutu guru dalam pembelajaran kepada anak didik.

Demikian salah satu temuan penting oleh Tim Monitoring dan Evaluasi (Monev) Independen yang dipilih Konsorsium Sertifikasi Guru dalam laporan mengenai Monev Sertifikasi Guru dalam Jabatan 2008. Tim tersebut secara komprehensif memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk peningkatan pelaksanaan sertifikasi guru bagi sekitar 2,7 juta guru yang harus selesai pada 2015.

Unifah Rosyidi, Ketua Tim Monev Independen mewakili Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), di Jakarta, Rabu (8/4), mengatakan, dari evaluasi sertifikasi guru kuota 2006-2008 ditemukan penilaian portofolio yang sulit dipenuhi guru adalah karya pengembangan profesi, partisipasi forum ilmiah, dan penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.

Kondisi ini disebabkan pengembangan guru belum dianggap penting oleh pejabat dinas pendidikan di sejumlah daerah.

”Kesempatan guru untuk mendapatkan pelatihan dan pengembangan profesi itu lebih banyak mengandalkan pemerintah pusat,” kata Unifah.

Sertifikat fiktif

Dari temuan di lapangan teridentifikasi banyak sertifikat keikutsertaan guru dalam forum ilmiah, seperti seminar, pelatihan, dan workshop, yang diragukan keasliannya. Bentuk kejanggalan itu terbanyak adalah sertifikat fiktif, tanggal palsu, nama palsu, dan tanda tangan palsu.

”Demi menjamin kualitas sertifikasi guru, setiap kecurangan perlu ditindak tegas. Namun, kenyataan ini jangan sepenuhnya dilimpahkan sebagai kesalahan guru semata,” ujar Unifah.

Tim Monev Independen merekomendasikan supaya pada daerah tertentu perlu dipertimbangkan mekanisme penilaian portofolio yang berbeda. Pembedaan itu khususnya pada penilaian komponen keikutsertaan pada forum ilmiah dan karya pengembangan profesi yang sulit dipenuhi guru-guru di daerah tertentu karena kendala geografis dan kesulitan akses untuk mengikuti kegiatan tersebut.

Iwan Hermawan, Sekretaris Jenderal Forum Guru Independen Indonesia, mengatakan, sertifikasi guru yang mengandalkan penilaian portofolio telah memunculkan fenomena baru, yakni banyak guru yang giat menghadiri seminar pendidikan, bahkan tidak keberatan mengeluarkan biaya dari kocek sendiri.

”Kalau yang dikejar cuma sertifikatnya, itu keliru besar. Mestinya, keikutsertaan dalam pendidikan atau seminar harus berimplikasi pada peningkatan profesionalisme guru,” ujar Iwan.

Menurut Iwan, pemerintah harus meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru secara terus- menerus, jangan hanya karena ada proyek sertifikasi. Sebab, pengembangan profesi guru selama ini belum dilakukan secara maksimal dan terarah untuk perbaikan mutu pendidikan di Tanah Air. (ELN)

Wednesday, April 8, 2009

Nasib Guru Agama Depdiknas Tak Jelas

English Excerpt:
This article entitled "The Fate of Religious Teachers at the Department of National Education Unclear" appeared at KOMPAS daily today. Teachers of religions (religious teachers) assigned to teach at schools under the Department of National Education complained of their uncertain fate in the certification process because of the bureaucratic dualism. Their salaries are currently paid by the Department of National Education while the certification is administered by the Department of Religious Affairs. There are currently 170,000 teachers of religions teaching at general schools (schools administered by the Department of National Education).

IEI editorial note:
- Religion is a compulsory subject in Indonesian schools.
- There are two types of schools in Indonesia, those under the "jurisdiction" of the Department of National Education (general schools), and those under the "jurisdiction" of the Department of Religious Affairs (religious schools).
- Indonesia is currently administering teacher certification program in an effort to improve teacher quality and welfare. Under this program, certified teachers will receive a 100 percent incentive of their base salary.

IEI - Wednesday, 8 April 2009

Rabu, 8 April 2009 03:28 WIB
Jakarta, Kompas - Guru-guru agama yang mengajar di sekolah umum mengeluhkan ketidakjelasan nasib mereka pada pelaksanaan sertifikasi akibat dualisme birokrasi. Untuk gaji, selama ini mereka menerima dari Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan untuk sertifikasi justru diserahkan ke Departemen Agama.

Kebijakan itu dinilai tidak adil bagi sekitar 170.000 guru agama yang mengajar di sekolah umum. Ini disebabkan kesempatan mereka untuk mendapat kuota sertifikasi menjadi terbatas sehingga peluang untuk mendapat tunjangan profesi sebesar satu kali gaji per bulan juga semakin sempit. Adapun guru-guru lain yang di bawah Depdiknas umumnya proses sertifikasi dan pembayaran tunjangan profesi berjalan lancar.

Proses sertifikasi guru agama di sekolah umum yang dialihkan ke Depag itu berdasarkan Surat Edaran Bersama Sekretaris Jenderal Depag bersama Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Tahun 2007.

Mengadu ke PGRI
Ketidakjelasan nasib guru pegawai negeri sipil Depdiknas bernomor induk pegawai (NIP) 13 itu mendorong perwakilan guru agama yang mengajar di sekolah umum dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta mengadu ke Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di Jakarta, Selasa (7/4).

Perwakilan guru didampingi Ketua Umum Pengurus Besar PGRI Sulistiyo mendatangi Depag yang ditemui Imam Tholkhah, Direktur Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Depag.
”Kami ini jadi bingung harus mengadu ke mana. Saya bolak- balik ke Depdiknas dan Depag, sampai detik ini tidak ada kejelasan,” kata Masyhuri, guru agama di SMPN 3 Surakarta, Jateng, yang mendapat surat keputusan sebagai guru profesional pada November 2007.

Daud Buang, guru agama SMAN 2 Purwokerto, Jateng, menuturkan, kondisi ini membuat guru agama di sekolah umum merasa dianaktirikan oleh Depdiknas. Ini disebabkan guru bidang studi lain di bawah Depdiknas yang masa kerjanya di bawah mereka bisa mendapat jatah sertifikasi lebih dahulu.

”Di sisi lain, Depag lebih dulu memprioritaskan guru-guru madrasah. Ini membuat nasib kami tidak menentu,” kata Daud.

Afrizal Abuzar, guru agama SMAN 46 Jakarta, menegaskan, guru-guru agama di sekolah umum meminta supaya tunjangan profesi dibayarkan sesuai dikeluarkannya surat keputusan guru profesional. Selain itu, guru agama meminta supaya proses sertifikasi dan pembinaan dikembalikan ke Depdiknas.

Sulistiyo mengatakan, Depag harus segera memperbaiki pelaksanaan sertifikasi hingga pembayaran tunjangan profesi dengan segera. Sebab, dasar pelaksanaan sertifikasi kuota tahun 2006-2008 antara guru di bawah Depag dan Diknas sama, yakni Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, tetapi ketidakberesan justru banyak terjadi di Depag.

Menurut Sulistiyo, meskipun sudah diumumkan adanya surat edaran Menteri Agama sebagai dasar untuk pembayaran tunjangan profesi guru di bawah Depag, nyatanya sampai saat ini tidak jelas dalam pelaksanaannya. (ELN)

Peraih Medali Emas Diterima Tanpa Tes

English Excerpt:
This article entitled
"Gold Medalists Admitted without Test" appeared at KOMPAS daily today.

Brawijaya University of Malang, East Java, will admit without test the champions/winners of national and international olympics, joining three other universities (University of Indonesia in Jakarta, Gajah Mada University in Yogyakarta, and ITB or Bandung Institute of Technology in Bandung) which have previously agreed to admit the same. The memorandum of understanding with the Department of National Education was signed yesterday (April 7). According to the Director General of Primary Education Management of the Department of National Education Suyanto, the cooperation is part of the implementation of the ministerial Decree No. 34 of 2006 on the Development of the Achievement of Students with Special Intelligence and Talent Potentials. The Department of National Education holds various olympics such as National Science Olympics, Sports Olympics, and Art Festival and Competition every year.

IEI - Wednesday, 8 April 2009

Rabu, 8 April 2009 03:27 WIB
Jakarta, Kompas - Universitas Brawijaya Malang, Jawa Timur, akan menerima tanpa tes pemenang olimpiade nasional dan internasional di perguruan tersebut. Berarti sudah empat perguruan tinggi negeri yang memberikan fasilitas kepada pemenang olimpiade berupa masuk ke PTN tanpa tes.

Nota kesepahaman antara Universitas Brawijaya dan Departemen Pendidikan Nasional ditandatangani di Jakarta, Selasa (7/4), oleh Rektor Universitas Brawijaya Yogi Sugito dan Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar Depdiknas Suyanto. Sebelumnya, nota kesepahaman Depdiknas-PTN dilakukan Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada.

Yogi mengatakan, nota kesepahaman tersebut untuk memudahkan Universitas Brawijaya mengetahui kriteria olimpiade nasional dan internasional yang diakui pemerintah dan berbobot. Siswa berprestasi peraih medali di kompetisi tingkat nasional dan internasional dapat memilih jurusan yang diminati tanpa tes.

Suyanto mengatakan, siswa yang secara berjenjang terseleksi dan mendapatkan medali harus mendapatkan insentif akademik maupun finansial. Secara akademik, siswa tidak boleh mengalami hambatan untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. ”Institusi pendidikan yang dibiayai APBN dan APBD wajib menerima mereka,” katanya.

Menurut Suyanto, kerja sama ini merupakan upaya untuk mengimplementasikan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 34 Tahun 2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

”Pemerintah daerah juga wajib memberi beasiswa untuk tingkat-tingkat nasional, apalagi di tingkat dunia,” katanya.

Sungkowo Mudjiamanu, Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Atas Depdiknas, menjelaskan, setiap tahun Depdiknas menyelenggarakan olimpiade bagi siswa, di antaranya Olimpiade Sains Nasional (OSN), Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN), serta Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N). Untuk OSN, dari 900 siswa tersaring, sebanyak 240 siswa yang dapat dikirimkan ke perguruan tinggi terpilih di Indonesia. (ELN)

Tuesday, April 7, 2009

Merger SD/MI di Bandung Diperkirakan Tuntas 2013

English Excerpt:
The following article entitled "Merger of Elementary Schools/Islamic Elementary Schools in Bandung is Expected to be Completed by 2013" taken from
PIKIRAN RAKYAT daily reports on the efforts made to merge and regroup elementary schools in Bandung. The school merger program which has been conducted since 2007 is aimed at reducing the number of elementary schools in Bandung and improving efficiency. There are currently 1,000 private and public elementary schools/Islamic elementary schools in Bandung. Of these, 129 have been merged. Bandung Municipal Office of Education is aiming at reducing the number of schools in Bandung to only 281 by 2013.

IEI - Tuesday, 7 April 2009

BANDUNG, (PR).-
Meski program merger dan regrouping sekolah dasar (SD) telah dimulai sejak 2007 silam, namun hingga saat ini, dari 1.000 SD/MI negeri dan swasta di Kota Bandung, baru 129 SD/MI yang sudah terkena program tersebut. Sementara Dinas Pendidikan Kota Bandung menargetkan, pada 2013 mendatang jumlah SD/MI menjadi hanya 281 sekolah.

"Memang tidak bisa dilakukan dalam waktu yang singkat, sebab semuanya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan, termasuk rekrutmen kepala sekolah, masa pensiun kepala sekolah, dan lain-lainnya, sehingga tidak menimbulkan gejolak di lapangan," kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji saat dihubungi Senin (6/4).

Kendati demikian, kata Oji, setelah dua tahun program ini berjalan, jumlah SD/MI di Kota Bandung sudah berkurang menjadi 871 SD/MI. Jumlah ini dipastikan akan terus berkurang tahun ini, meski disdik belum dapat merinci berapa target merger dan regrouping tahun 2009. "Mengenai berapa yang akan dimerger tahun ini, masih dikaji di tingkat teknis. Yang pasti semuanya disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi," ujarnya.

Oji menjelaskan, dengan adanya merger dan regrouping dari satu kompleks SD yang terdiri dari beberapa SD menjadi sekolah tunggal, telah memberikan manfaat positif terhadap manajemen sekolah. Sebab dengan hanya satu kepala sekolah di satu kompleks SD, akan terjadi efisiensi dan kemudahan dalam pengawasan.

"Sekarang saja sudah terlihat dampak positifnya. Pengelolaan manajemen sekolah semakin terintegrasi karena berasal dari satu kepala sekolah. Disdik pun lebih mudah dalam mengawasi karena semua ada dalam satu komando. Logikanya juga, jika sekolah dipimpin satu orang, pasti akan jauh lebih mudah dan tidak ada lagi perbedaan antara sekolah dalam satu kompleks seperti yang selama ini terjadi," tuturnya.

Selain itu Oji menambahkan, merger dan regrouping juga akan mendorong SD/MI menjadi sekolah bertaraf nasional dan juga internasional seperti tingkat pendidikan lainnya. Sebab, kata dia, salah satu syarat untuk menjadi SSN atau SBI, sekolah harus berbentuk sekolah tunggal dan tidak boleh mengadakan kelas siang. "Satu lagi, walaupun merger dilakukan, pelayanan sekolah tetap sama dan tidak berubah. Rombongan belajar, termasuk guru, tidak terpengaruh dengan adanya merger ini," ungkapnya.

Kurangi inefisiensi
Kepala Bidang Pendidikan Dasar Disdik Jabar Asep Hilman mengungkapkan, merger dilakukan untuk mengurangi inefisiensi sekolah. Dengan bergabung dalam satu manajemen, diharapkan terjadi kualitas pendidikan di sekolah-sekolah yang sebelumnya terpisah. "Hanya kami menyarankan merger dilakukan pada sekolah-sekolah yang berada dalam satu kompleks," ujarnya.

Asep mencontohkan merger yang dilakukan sekolah di Kabupaten Karawang belum lama ini. Dari empat manajemen, mereka melebur menjadi dua. "Hasilnya, kualitas proses belajar-mengajar menjadi jauh lebih baik. Itu yang kita harapkan dari merger," katanya. (A-157/A-165)***

Pendidikan Nasional Tak Dipercaya - Sekolah Bertaraf Internasional Mendapat Kucuran Dana Besar

English Excerpt:
The following article entitled "National Education is Not Trusted - International Standard Schools Receive Huge Fundings" appeared at
KOMPAS daily today. The article reported a public discussion entitled "Dissecting The International-Standard School Policy" held by Education Forum in Jakarta yesterday. Critics suggested that the government's policy of promoting "state-schools" (sekolah-sekolah negeri) with international standard is a sign that it does not trust the ability of the national education system to compete globally and with other countries. They also warned that the creation of different classes of schools may become a social bomb in the future.

IEI - Tuesday, 7 April 2009

Selasa, 7 April 2009 03:29 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah tidak percaya bahwa sistem pendidikan nasional bisa bersaing secara global dengan negara lain. Hal itu dibuktikan sendiri pemerintah dengan kebijakannya yang justru mendorong bermunculannya sekolah-sekolah negeri bertaraf internasional yang didukung biaya besar.

Pemerintah seharusnya justru memperkuat sistem pendidikan nasional yang mampu membuat siswa senang belajar, percaya diri untuk bersaing, cerdas, dan humanis. Bukan sebaliknya, menciptakan sistem pendidikan yang berkelas-kelas yang akan menciptakan bom sosial di kemudian hari.

Demikian persoalan yang mengemuka dalam diskusi publik bertajuk ”Membedah Kebijakan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI)” yang dilaksanakan Education Forum di Jakarta, Senin (6/4).

Tampil sebagai pembicara adalah Direktur SMA Kolese Kanisius Jakarta Rm E Baskoro Poedjinoegroho, pengamat pendidikan HAR Tilaar, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina Utomo Dananjaya, dan M Fajri Siregar, alumnus Universitas Indonesia.

”Bukan kita menutup diri terhadap apa yang berbau asing atau internasional, tetapi SBI ciptaan pemerintah saat ini lebih sebagai pelarian karena tidak bisa membuat sistem pendidikan nasional yang menghasilkan peserta didik yang siap menghadapi tantangan zaman. SBI di sekolah negeri itu jadi tertutup hanya untuk orang pintar dan berduit,” kata Baskoro.

Menurut Baskoro, yang ada di Indonesia saat ini sebenarnya masih kelas bertaraf internasional. Itu pun dengan pengajar yang fokus untuk menerjemahkan bahan ajar ke dalam bahasa Inggris. SBI umumnya menggunakan kurikulum internasional Cambridge.

HAR Tilaar mengatakan, yang mendasar justru perlu diciptakan sistem pendidikan nasional yang baik, yang bersumber dari kekuatan yang dimiliki bangsa ini.

Sikap inferior

Sementara itu, Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina menilai fokus pemerintah untuk mengembangkan SBI menunjukkan sikap inferior bangsa ini. Padahal, pendidikan berfungsi untuk mengembangkan budaya dan martabat bangsa dengan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Fajri Siregar, alumnus Sosiologi UI, mengatakan, yang juga berkembang adalah sekolah nasional plus, yang selain memakai kurikulum nasional juga mengadopsi kurikulum internasional. Bahkan, pengajarnya lebih banyak warga negara asing. (ELN)